Belakangan ini, gua sering banget liat postingan di sosmed—terutama yang bahas soal pernikahan—yang isinya ngutip ayat atau hadits, lalu dijadikan “senjata” untuk menyalahkan pasangan. Contohnya, ada suami yang ngepost atau ngirim ayat ke istrinya tentang larangan menolak ajakan suami, disertai ancaman dosa atau laknat.
Padahal, gua pribadi ngerasa… alangkah lebih bijak kalau setiap kita nemu ayat atau nasihat agama, kita jadikan itu cermin buat diri sendiri dulu. Bukan langsung buat “ngasih tau” pasangan atau orang lain.
Contoh yang sering gua liat:
Suami nuntut dilayani, lalu kirim ayat yang artinya “istri yang menolak ajakan suami akan dilaknat oleh malaikat sampai pagi.” Tapi dia lupa buat nanya, “Istriku hari ini capek gak? Lagi sakit? Lagi pusing sama anak? Perlu dipeluk dulu mungkin, bukan langsung diajak?”
Agama jadi kehilangan ruh kasih sayangnya ketika dipakai hanya buat nuntut hak, tanpa introspeksi. Padahal di balik setiap hak, ada tanggung jawab. Di balik setiap kewajiban, ada konteks.
Allah dalam Al-Qur’an udah nyusun relasi suami-istri bukan dalam kerangka kekuasaan, tapi dalam cinta dan rahmat. Dalam Surah Ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…”
Bukan tentang siapa yang berkuasa, tapi siapa yang lebih bisa membangun ketenteraman.
Gua ngerasa, dewasa dalam beragama itu adalah ketika kita menjadikan ayat sebagai refleksi, bukan alat konfrontasi.
Ketika dapet ayat soal pernikahan, alih-alih mikir “Pasangan gua harusnya kayak gini,” coba balik dulu, “Gua udah kayak gini belum ya ke pasangan?”
Karena agama itu bukan perlombaan menang-menangan pakai dalil, tapi perjalanan saling memperbaiki diri—bareng-bareng.