9. Tenang

Tenang itu terkadang gak bisa dipahami, tapi cukup dirasa.
Aseek, haha. Tapi serius, lo pernah gak sih ngalamin momen dalam hidup yang di luar banget dari ekspektasi? Kaya…
“Kenapa bisa gini ya?”
“Kenapa semua kejadian ini dateng barengan?”
“Kenapa hal-hal yang gua usahain mati-matian malah gak sesuai harapan?”

Kadang hidup tuh datengnya bukan pelan-pelan, tapi jebret—langsung sekaligus. Dan di saat kayak gitu, kita butuh satu hal: tenang.

Bukan pasrah, bukan juga cuek. Tapi tenang.
Tenang tuh bukan berarti gak ngapa-ngapain, tapi sadar kalau gak semua hal di dunia ini bisa kita kontrol. Kadang hal yang bisa kita kontrol cuma satu: respon kita sendiri.

Nah, ini juga yang diajarin sama filosofi stoikisme.
Filsuf kayak Epictetus bilang:

“Some things are up to us, and some things are not.”

Kita cuma punya kuasa atas pikiran, sikap, dan reaksi kita.
Sisanya—cuaca, opini orang, hasil akhir—itu bukan ranah kita. Fokus ke yang bisa kita kendalikan, dan lepaskan yang enggak.
Itu kunci ketenangan versi Stoik.

Dalam Islam pun, kita diajarin buat punya ketenangan yang bersumber dari tawakal.
Allah berfirman di QS. Ar-Ra’d: 28:

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”

Dan Rasulullah SAW bersabda:

“Ketahuilah, apa yang meleset darimu, tidak akan menimpamu. Dan apa yang menimpamu, tidak akan meleset darimu.”
(HR. Tirmidzi)

Jadi dua-duanya ngajarin kita hal yang mirip:
Kalau udah usaha, udah doa, dan masih juga hasilnya gak sesuai harapan, ya saatnya belajar nerima dengan tenang.

Secara sains, menurut Harvard Health, orang yang bisa mengelola stres dan menjaga ketenangan justru punya kualitas hidup yang lebih baik, dari sisi fisik maupun mental.

Karena pada akhirnya, tenang itu bukan cuma perasaan.
Tenang itu kekuatan.
Dan kayak yang gua bilang di awal, tenang itu emang gak selalu bisa dijelasin… tapi kalau udah dirasain, lo bakal ngerti betapa berharganya.