Category: thirty-things

  • 30. Tujuan Hidup

    Poin terakhir yang mau gua bahas adalah tentang tujuan hidup. Menurut gua, kalau kita udah tahu tujuan kita itu apa, dan kita tahu kemana arah kita pergi, hidup jadi jauh lebih jelas. Seperti kita naik mobil dengan GPS, lebih mudah mengikuti arah dan memilih jalan yang tepat kalau kita tahu tujuan akhir kita.

    Tujuan hidup gua yang paling utama adalah mencari ridho Allah.
    Karena, pada akhirnya, hidup ini bukan soal seberapa banyak pencapaian duniawi yang kita dapatkan, atau seberapa dikenal kita di mata orang lain, tapi tentang bagaimana kita bisa menjadi hamba yang diridhai-Nya.

    Tujuan hidup gua adalah agar Allah menerima setiap amal dan ibadah yang gua lakukan. Gua ingin setiap langkah hidup gua ini bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Gua ingin agar setiap perbuatan gua—baik itu yang kecil maupun besar—dapat menjadi ladang pahala di sisi-Nya.

    Selain itu, gua juga berharap agar Allah mengampuni setiap dosa yang gua perbuat, yang kadang mungkin tanpa sengaja atau karena kelemahan gua sebagai manusia. Karena kita semua gak sempurna, dan kita pasti sering jatuh, tapi yang terpenting adalah usaha untuk terus memperbaiki diri.

    Yang paling gua harapkan, pada akhirnya, adalah agar Allah mematikan gua dalam keadaan husnul khatimah, dengan akhir yang baik. Itu yang gua pegang, bahwa hidup ini adalah perjalanan yang pada akhirnya kembali kepada-Nya. Semua hal yang kita kejar, semua pencapaian yang kita raih, hanya berarti kalau itu semua dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi, buat gua, tujuan hidup itu adalah mencari ridho Allah dalam setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap tindakan yang kita ambil. Kalau kita udah punya tujuan yang jelas, akan lebih mudah untuk menjalani hidup dengan penuh harapan, rasa syukur, dan ikhtiar.

  • 29. Marriage

    Nah, ini poin yang agak sensitif ya—apalagi buat yang usia udah cukup, kerjaan udah ada, tapi belum nikah. Udah pasti, tiap kali lebaran datang, pertanyaan “Kapan nikah?” mulai berdatangan dengan sangat bersemangat. Wkwk.

    Gua juga sering ngerasa hal yang sama sih, dan kadang pertanyaan itu jadi bahan bercandaan yang agak nyerempet juga. Tapi gua ngerasa, menikah itu ternyata bukan sekedar keputusan yang tiba-tiba, tapi ada banyak hal yang harus disiapkan, dipertimbangkan, dan dikompromikan.
    Bahkan, ada hal-hal yang kadang nggak bisa kita ceritakan ke orang lain tentang “kenapa” kita belum menikah. Bisa jadi karena alasan yang lebih dalam yang sifatnya pribadi banget. Itu juga yang kadang bikin proses ini terasa lebih lama daripada yang orang lain lihat.

    Gua juga ngerasa, meski usia kita udah dirasa cukup, kerjaan udah mapan, tapi ada banyak hal yang harus diperbaiki sebelum kita siap untuk menikah. Pernikahan bukan hanya soal siap secara finansial, tapi juga fisik, mental, dan emosional. Kita harus siap untuk menjalani kehidupan baru dengan pasangan, menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lain, dan berkomitmen untuk saling menguatkan.

    Yang paling penting menurut gua adalah, terus perbaiki diri sendiri dulu. Jangan cuma fokus nyari pasangan, tapi juga fokus untuk jadi pribadi yang lebih baik—secara mental, spiritual, dan finansial. Ikhtiar itu penting, tapi ikhtiar bukan berarti terburu-buru. Nikmati prosesnya, belajar dari pengalaman, dan kalau saatnya datang, semoga kita bisa jadi pasangan yang baik juga buat orang lain.

  • 28. Atas dasar Agama

    Belakangan ini, gua sering banget liat postingan di sosmed—terutama yang bahas soal pernikahan—yang isinya ngutip ayat atau hadits, lalu dijadikan “senjata” untuk menyalahkan pasangan. Contohnya, ada suami yang ngepost atau ngirim ayat ke istrinya tentang larangan menolak ajakan suami, disertai ancaman dosa atau laknat.

    Padahal, gua pribadi ngerasa… alangkah lebih bijak kalau setiap kita nemu ayat atau nasihat agama, kita jadikan itu cermin buat diri sendiri dulu. Bukan langsung buat “ngasih tau” pasangan atau orang lain.

    Contoh yang sering gua liat:
    Suami nuntut dilayani, lalu kirim ayat yang artinya “istri yang menolak ajakan suami akan dilaknat oleh malaikat sampai pagi.” Tapi dia lupa buat nanya, “Istriku hari ini capek gak? Lagi sakit? Lagi pusing sama anak? Perlu dipeluk dulu mungkin, bukan langsung diajak?”

    Agama jadi kehilangan ruh kasih sayangnya ketika dipakai hanya buat nuntut hak, tanpa introspeksi. Padahal di balik setiap hak, ada tanggung jawab. Di balik setiap kewajiban, ada konteks.

    Allah dalam Al-Qur’an udah nyusun relasi suami-istri bukan dalam kerangka kekuasaan, tapi dalam cinta dan rahmat. Dalam Surah Ar-Rum ayat 21:

    “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…”

    Bukan tentang siapa yang berkuasa, tapi siapa yang lebih bisa membangun ketenteraman.

    Gua ngerasa, dewasa dalam beragama itu adalah ketika kita menjadikan ayat sebagai refleksi, bukan alat konfrontasi.
    Ketika dapet ayat soal pernikahan, alih-alih mikir “Pasangan gua harusnya kayak gini,” coba balik dulu, “Gua udah kayak gini belum ya ke pasangan?”

    Karena agama itu bukan perlombaan menang-menangan pakai dalil, tapi perjalanan saling memperbaiki diri—bareng-bareng.

  • 27. Bukan cuma Tentang Diri Sendiri

    Di momen-momen tertentu, gua sering ngerasa pengen dimengerti. Pengen dipahami, didengar, dan dihargai. Dan itu wajar banget—karena sebagai manusia, kita emang punya kebutuhan buat dimengerti.

    Tapi, seiring waktu gua juga makin sadar… hidup ini bukan cuma tentang diri kita sendiri.
    Kita hidup berdampingan. Ada keluarga, temen, pasangan, rekan kerja, bahkan orang-orang asing yang mungkin hari ini lagi berjuang juga dengan cerita hidupnya sendiri.

    Kadang kita terlalu sibuk pengen dimengerti, sampai lupa buat berusaha ngerti orang lain juga. Padahal, hubungan yang sehat itu dibangun dari dua arah—bukan cuma minta dipahami, tapi juga belajar memahami.

    Di dunia yang makin individualistis, kesadaran bahwa kita bagian dari sistem sosial itu penting banget. Kita gak hidup di ruang hampa. Keputusan kita, sikap kita, ucapan kita, itu bisa berdampak buat orang lain—baik atau buruk.

    Gua jadi inget satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

    “Tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari & Muslim)

    Artinya apa? Bahwa kepekaan terhadap orang lain itu bagian dari iman. Bahwa hidup ini bukan cuma soal “apa yang gua rasain”, tapi juga “apa yang orang lain rasain” karena kehadiran kita.

    Dan menariknya, ketika kita belajar untuk keluar dari diri sendiri—untuk lebih peka, lebih peduli, lebih membuka ruang untuk orang lain—biasanya, kita juga jadi makin damai sama diri sendiri.

  • 26. Listening

    Salah satu hal yang gua pelajari di usia ini adalah pentingnya untuk belajar mendengarkan. Bukan cuma dengerin suara, tapi bener-bener mendengarkan—dengan hati, dengan pikiran terbuka, dan tanpa buru-buru buat nyela atau ngerespon.

    Dari proses mendengar itu, gua bisa lebih ngerti gimana cara orang mikir, gimana perspektif dia soal sesuatu, dan kenapa dia ngelakuin hal-hal tertentu. Kadang, dengan cuma diem dan dengerin, kita udah bisa bikin orang ngerasa dihargai.

    Gua jadi inget satu refleksi sederhana: kenapa telinga diciptakan dua, sementara mulut cuma satu? Mungkin karena kita memang diminta untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kayaknya bener juga ya, bro?

    Dalam Islam, sikap mendengarkan juga dijunjung tinggi. Bahkan dalam Al-Qur’an, Surah Az-Zumar ayat 18 menyebut:

    “(Yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya…”
    Artinya, orang bijak itu bukan yang paling banyak bicara, tapi yang paling jago milih mana yang baik dari apa yang dia dengar.

    Dari sisi psikologi juga, active listening itu salah satu skill penting dalam membangun relasi yang sehat—baik itu sama pasangan, keluarga, temen, atau rekan kerja. Kadang orang gak butuh solusi, dia cuma pengen didengerin.

    Jadi sekarang gua lagi belajar buat gak buru-buru nyela, gak cepet nge-judge, dan kasih ruang buat orang cerita. Karena dari mendengarkan, banyak hal yang bisa dipelajari—bahkan tentang diri kita sendiri.

  • 25. Tentang 2 Pilihan

    Gua coba refleksiin satu hal yang makin kerasa akhir-akhir ini: hidup itu selalu tentang dua pilihan.

    Contoh simpelnya, besok tanggal merah, hari libur. Ada dua opsi: isi waktu dengan hal positif, kayak baca, olahraga, ngulik hal baru—atau habisin waktu buat rebahan dan scrolling medsos. Jujur aja, kadang gua juga kalah sama rasa nyaman doing nothing Tapi minimal ada perasaan di dalem diri yang bilang, “Gua harus ngelakuin sesuatu yang bermanfaat.” Dan itu udah langkah awal yang bagus banget.

    Yang perlu diingat juga—jangan merasa bersalah kalau sesekali milih yang ‘gak ideal’. Kita manusia, dan kadang emang butuh istirahat, butuh rehat, butuh diem sebentar. Yang penting, kita sadar dan pelan-pelan balik lagi ke arah yang bener.

    Dan juga, jangan pernah ngeremehin langkah kecil. Sekecil apapun hal yang lo lakuin hari ini, kalau itu bikin lo tumbuh atau bikin lo lebih baik dari kemarin, itu berarti. Mungkin kelihatannya kecil, tapi kalau dikumpulin tiap hari, dampaknya bisa luar biasa.

    Dalam Surah Al-Balad ayat 10, Allah berfirman:

    “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.”
    Kita selalu dikasih pilihan. Tinggal kita yang nentuin, mau ke arah yang bikin berkembang, atau yang stagnan.

    Dari sisi sains juga, menurut teori micro-habits, perubahan besar justru dimulai dari hal-hal kecil yang dilakukan secara konsisten. Jadi jangan tunggu punya waktu banyak atau energi gede dulu. Mulai aja dari yang kecil, tapi sadar.

    Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat—tapi siapa yang konsisten milih arah yang benar.

  • 24. Good Food is Good Mood

    Bukan cuma mikir “enak gak ya di lidah”, tapi juga “baik gak ya buat tubuh ke depannya?” Katanya, masuk usia 30 itu metabolisme mulai turun—dan gua ngerasa emang iya sih. Dulu bisa makan sembarangan gak kerasa apa-apa, sekarang makan sedikit yang gak bener bisa langsung begah, pusing, atau ngaruh ke mood seharian

    Jadi mulai dari sekarang, menurut gua penting banget buat lebih sadar sama apa yang kita masukin ke mulut

    Makanan tuh gak cuma ngisi perut, tapi juga ngaruh ke banyak aspek—dari energi, konsentrasi, sampai emosi. Gak heran ada istilah “good food is good mood.” Karena makanan yang bergizi dan seimbang emang bisa bantu ngatur hormon, bikin kita lebih stabil emosinya, dan lebih produktif.

    Dalam Qur’an juga ada lho anjuran buat konsumsi yang baik, salah satunya di Surah Al-Baqarah ayat 168:

    “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik (thayyib) yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

    Ayat ini bukan cuma ngomongin soal halal secara hukum, tapi juga baik secara kesehatan. Jadi bukan cuma apa yang boleh, tapi apa yang baik buat tubuh.

    Dari sisi sains, banyak studi juga bilang bahwa makanan tinggi gula, olahan berlebihan, dan rendah nutrisi itu bisa ningkatin risiko depresi, stres, dan kelelahan. Sebaliknya, makanan kaya omega-3, sayuran, buah, dan serat tinggi bisa bantu ningkatin keseimbangan mood dan fokus.

    Jadi ya, makan enak itu boleh, tapi jangan lupa mikir jangka panjang. Biar bukan cuma lidah yang happy, tapi badan dan pikiran juga ikutan bahagia.

  • 23. Bahagiain Diri Sendiri

    Sering banget gua denger cerita, terutama dalam pernikahan yang lagi gak baik-baik aja. Ada yang sampai ngomong soal kemungkinan bercerai, lalu mulai mikir tentang “gimana nasib anak-anak nanti”, “gimana keluarga akan melihat”, dan berbagai kekhawatiran lainnya. Tapi, yang sering terlupakan adalah bahwa diri kita sendiri juga berhak untuk bahagia.

    Gak sedikit orang yang terjebak dalam kewajiban untuk menyenangkan orang lain atau menjaga keharmonisan keluarga, sampai akhirnya lupa ngurus kebahagiaan diri sendiri. Padahal, kalau kita terus-menerus mengorbankan diri sendiri dan gak memberi ruang buat kebahagiaan kita, itu bisa bikin kita hilang arah, bahkan stres.

    Dalam Islam juga diajarkan untuk menjaga keseimbangan dalam hidup. Salah satu hadis Rasulullah SAW mengatakan:

    “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, meskipun keduanya baik.”
    (HR. Muslim)
    Hadis ini ngingetin kita bahwa penting untuk menjaga kekuatan diri—baik fisik, mental, dan emosional—karena kita gak bisa memberi yang terbaik kalau kita sendiri gak dalam keadaan baik.

    Dari sisi psikologi juga, seringkali kebahagiaan diri sendiri itu adalah fondasi buat hubungan yang sehat. Kalau kita gak bahagia, kita cenderung gak bisa memberi kebahagiaan yang tulus ke orang lain. Sebaliknya, ketika kita menjaga kebahagiaan diri sendiri, kita juga bisa lebih hadir dan memberi support yang positif buat orang yang kita sayang.

    Jadi, bahagiain diri sendiri juga penting. Jangan lupa untuk punya waktu buat diri sendiri, untuk ngerawat mental dan fisik kita, biar bisa memberi yang terbaik untuk orang lain.

  • 22. Sedikit tapi Konsisten

    Menurut gua, setiap hari harus ada progres, meskipun sedikit. Gak perlu langsung besar, atau kayak kita ngejar target yang muluk-muluk. Yang penting adalah konsistensi. Bahkan, kadang yang sedikit tapi dilakukan terus-menerus bisa lebih berdampak besar dibandingkan usaha yang besar tapi cuma sekali-sekali.

    Progres ini juga bukan buat dibandingin sama orang lain. Karena kadang kita merasa stuck kalau ngeliat orang lain yang kelihatannya jauh lebih maju. Tapi yang lebih penting adalah apakah kita bisa jadi lebih baik dari diri kita sendiri kemarin? Kalau jawabannya iya, itu udah cukup.

    Misalnya, dalam hal belajar, gak harus langsung baca 10 buku dalam seminggu, tapi mungkin satu halaman setiap hari—itu udah cukup. Dalam hal olahraga, gak harus langsung nge-gym 2 jam setiap hari, mungkin cuma 20 menit jalan kaki setiap pagi, tapi rutin. Kalau dilakukan konsisten, dampaknya luar biasa dalam jangka panjang.

    Dalam Al-Qur’an juga banyak disebutkan tentang pentingnya konsistensi. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:

    “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
    Ini ngingetin kita bahwa proses itu berjalan sesuai kapasitas kita. Jadi, jangan buru-buru, yang penting terus melangkah, meskipun pelan.

    Dari sisi sains juga, teori compound effect atau efek akumulasi nunjukin kalau sedikit demi sedikit, tapi dilakukan terus-menerus, hasil akhirnya bisa jauh lebih besar daripada yang kita bayangin. Bahkan perubahan kecil tiap hari itu bisa membentuk kebiasaan hebat yang akhirnya bikin kita jauh lebih produktif dan efektif.

  • 21. Meritokrasi

    Menurut Bapak Anies Baswedan, salah satu masalah besar di Indonesia itu adalah kurangnya meritokrasi. Ini jadi bahan perbincangan yang penting banget, apalagi kalau kita ngomongin soal pemerintahan, pekerjaan, atau bahkan pendidikan.

    Menurut gua, meritokrasi itu sebenernya sederhana. Orang yang dipilih atau diberi amanah itu harus berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang dia punya, bukan karena faktor lain kayak kedekatan, relasi, atau faktor eksternal lainnya.

    Contoh simpel, misalnya dalam dunia kerja—seharusnya orang yang punya skill, pengalaman, dan kapasitas yang tepat yang diutamakan buat menduduki posisi tertentu. Bukan karena dia punya koneksi atau faktor-faktor yang gak ada hubungannya dengan kemampuan dia. Begitu juga dalam dunia pendidikan atau pemerintahan—harusnya yang berkompeten yang diberi kesempatan untuk memimpin atau mengambil keputusan.

    Terjadi juga di negara konoha terkait ini, tapiii ya kalian tau sendiri lah ya hehehe

    Bahkan dalam Al-Qur’an di Surah Al-Mulk ayat 15, Allah sudah ngasih petunjuk tentang hal ini:

    “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah untuk kalian, maka jalanilah di segala penjuruannya dan makanlah rezeki yang telah diberikan-Nya. Kepada-Nya kalian akan kembali.”
    Ayat ini ngajarin kita bahwa kita harus berusaha sebaik-baiknya dengan apa yang kita punya—dan kalau usaha itu maksimal, ya hasilnya pun akan maksimal. Bukan berdasarkan faktor lain.

    Di sisi lain, sains juga bilang kalau meritokrasi itu penting buat menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien. Menurut penelitian yang diterbitkan di Harvard Business Review, perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem meritokrasi cenderung lebih produktif dan inovatif karena orang yang terpilih memang sudah terbukti mampu.

    Jadi, kalau kita ingin negara atau tempat kerja yang lebih adil dan berkembang, meritokrasi adalah kunci. Pilihlah orang yang berbasis pada keahlian, bukan karena hal-hal di luar itu.