Category: thirty-things

  • 10. Kompromi

    Sebenernya, poin ini nyambung banget sama yang gua bahas di poin sebelumnya soal komunikasi.
    Setelah kita bisa ngerti cara ngomong, cara nyampein, bisa baca situasi, dan ngerasain suasana… langkah selanjutnya adalah kompromi.

    Menurut gua, kompromi itu bukan soal siapa yang ngalah, tapi soal gimana dua kepala yang beda bisa ketemu di tengah-tengah. Apalagi kalau dua pendapat itu sama-sama masuk akal, dan gak ada urusannya sama benar atau salah—cuma beda perspektif aja.

    Contohnya, dalam hubungan—baik pertemanan, pasangan, kerja tim—pasti ada aja bentrok.

    • Yang satu sukanya cepet, yang satu sukanya hati-hati.
    • Yang satu sukanya langsung to the point, yang satu sukanya santai dulu baru ngomong.
      Kalo dua-duanya maksa, ya gak jalan.
      Makanya dibutuhkan kompromi, biar semua tetap bisa lanjut dan nyaman.

    Gua jadi inget quote yang bilang:

    “Compromise is not about losing. It’s about deciding that the other person has just as much right to be happy as you do.”

    Dalam Islam pun kita diajarin buat bersikap adil dan saling memudahkan.
    Rasulullah SAW bersabda:

    “Permudahlah, dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira, dan jangan membuat orang lari.”
    (HR. Bukhari & Muslim)

    Artinya, kita diminta buat cari titik tengah—bukan keras kepala, tapi juga bukan asal ngalah.

    Kompromi itu bukan lemah.
    Justru kompromi itu tanda kita cukup dewasa buat mikir bareng-bareng, bukan menang-menangan.
    Dan percaya, hidup itu lebih enak kalau kita bisa kompromi.

  • 9. Tenang

    Tenang itu terkadang gak bisa dipahami, tapi cukup dirasa.
    Aseek, haha. Tapi serius, lo pernah gak sih ngalamin momen dalam hidup yang di luar banget dari ekspektasi? Kaya…
    “Kenapa bisa gini ya?”
    “Kenapa semua kejadian ini dateng barengan?”
    “Kenapa hal-hal yang gua usahain mati-matian malah gak sesuai harapan?”

    Kadang hidup tuh datengnya bukan pelan-pelan, tapi jebret—langsung sekaligus. Dan di saat kayak gitu, kita butuh satu hal: tenang.

    Bukan pasrah, bukan juga cuek. Tapi tenang.
    Tenang tuh bukan berarti gak ngapa-ngapain, tapi sadar kalau gak semua hal di dunia ini bisa kita kontrol. Kadang hal yang bisa kita kontrol cuma satu: respon kita sendiri.

    Nah, ini juga yang diajarin sama filosofi stoikisme.
    Filsuf kayak Epictetus bilang:

    “Some things are up to us, and some things are not.”

    Kita cuma punya kuasa atas pikiran, sikap, dan reaksi kita.
    Sisanya—cuaca, opini orang, hasil akhir—itu bukan ranah kita. Fokus ke yang bisa kita kendalikan, dan lepaskan yang enggak.
    Itu kunci ketenangan versi Stoik.

    Dalam Islam pun, kita diajarin buat punya ketenangan yang bersumber dari tawakal.
    Allah berfirman di QS. Ar-Ra’d: 28:

    “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”

    Dan Rasulullah SAW bersabda:

    “Ketahuilah, apa yang meleset darimu, tidak akan menimpamu. Dan apa yang menimpamu, tidak akan meleset darimu.”
    (HR. Tirmidzi)

    Jadi dua-duanya ngajarin kita hal yang mirip:
    Kalau udah usaha, udah doa, dan masih juga hasilnya gak sesuai harapan, ya saatnya belajar nerima dengan tenang.

    Secara sains, menurut Harvard Health, orang yang bisa mengelola stres dan menjaga ketenangan justru punya kualitas hidup yang lebih baik, dari sisi fisik maupun mental.

    Karena pada akhirnya, tenang itu bukan cuma perasaan.
    Tenang itu kekuatan.
    Dan kayak yang gua bilang di awal, tenang itu emang gak selalu bisa dijelasin… tapi kalau udah dirasain, lo bakal ngerti betapa berharganya.

  • 8. Keresahan

    Menurut gua, memelihara keresahan itu penting.
    Kedengerannya berat, tapi sebenarnya ini bagian dari cara kita buat tetap waras—tetap peka. Karena keresahan itu tandanya kita masih peduli, masih bisa bedain mana yang baik dan mana yang enggak.

    Contohnya simpel aja.
    Pas gua ngeliat orang buang sampah sembarangan, gua ngerasa risih. Itu bentuk keresahan kecil, tapi dari situ bisa muncul pertanyaan, “Kenapa sih orang buang sampah sembarangan?”
    Dan dari pertanyaan itu, bisa berkembang jadi ide—mulai dari edukasi soal sampah, bikin konten, kampanye sosial, sampai ajak temen-temen buat bareng-bareng peduli lingkungan.

    Intinya, keresahan itu bisa jadi awal dari perubahan.

    Cuma emang, gak semua keresahan harus langsung diubah jadi gerakan besar. Kadang cukup ditulis, didiskusiin, atau dijadiin bahan refleksi diri aja dulu. Yang penting, kita gak jadi mati rasa.

    Dalam Islam, keresahan yang positif itu bisa jadi bentuk keimanan.
    Rasulullah SAW bersabda:

    “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
    (HR. Muslim)

    Artinya, keresahan di hati itu pun dihitung sebagai iman—selama gak dibiarkan mati.

    Secara psikologi juga, menurut Harvard Business Review, banyak inovasi dan solusi kreatif di dunia kerja maupun sosial justru lahir dari rasa frustrasi atau ketidakpuasan terhadap situasi tertentu. Jadi keresahan itu jangan dibungkam—arahin, bukan dipendam.

  • 7. Otot

    Ngomongin soal otot, gua baru bener-bener sadar pentingnya latihan fisik itu ya justru belakangan ini. Gua pikir dulu, yang penting olahraga asal keringetan udah cukup. Tapi ternyata, otot itu harus dilatih secara spesifik—dan salah satunya dengan angkat beban.

    Tenang aja, kalau beban hidup sih semua udah punya ya wkwk.
    Tapi angkat beban yang gua maksud di sini bisa simpel banget, nggak harus ke gym. Beban tubuh sendiri juga bisa jadi alat latihan, misalnya dengan push-up, pull-up, atau squat.

    Yang paling penting menurut gua: latih otot kaki. Karena kaki itu fondasi dari semua aktivitas harian kita. Mau jalan, lari, angkat barang, naik tangga—semua dimulai dari kaki. Otot kaki yang kuat bikin tubuh lebih stabil, postur lebih bener, dan risiko cedera juga berkurang.

    Salah satu gerakan paling dasar tapi efektif: squat.
    Gak ribet, bisa dilakuin di rumah, dan banyak banget variasi serta manfaatnya. Lo bisa cari sendiri tutorialnya—di YouTube banyak banget video yang ngebahas cara, manfaat, sampai kesalahan umumnya.

    Dari sisi sains, studi dari Journal of Strength and Conditioning Research bilang:

    “Resistance training helps increase muscle mass, boost metabolism, and reduce the risk of chronic diseases.”

    Artinya, latihan otot bukan cuma bikin badan keliatan fit, tapi juga bikin sistem imun lebih kuat, metabolisme lebih aktif, dan bisa jadi tameng buat penyakit-penyakit yang sering muncul di usia 30-an ke atas.

    Dan jangan salah, dalam Islam pun menjaga tubuh itu penting. Rasulullah SAW bersabda:

    “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”
    (HR. Muslim)

    Jadi menurut gua, investasi ke kesehatan fisik itu sama pentingnya kayak belajar agama atau kerja keras. Karena badan ini kendaraan hidup kita—kalau gak dirawat, ya susah juga buat ngejar hal-hal baik lainnya.

  • 6. Komunikasi

    Awalnya gua kira, komunikasi itu cuma penting di hubungan kayak pacaran, suami-istri, atau pertemanan. Tapi makin ke sini, makin sadar: komunikasi itu penting di semua aspek hidup. Serius, semua.

    Kenapa? Karena kita bukan cenayang. Gua nggak bisa baca pikiran orang. Gua juga nggak tahu dia lagi ngerasa apa, lagi butuh apa, atau lagi kepikiran apa—kalau dia gak ngomong. Dan sebaliknya, orang lain juga gak akan tahu isi kepala atau hati gua kalau gua nggak nyampein dengan jelas.

    Makanya, komunikasi itu skill yang harus terus diasah. Bukan sekadar bisa ngomong, tapi gimana kita nyampein sesuatu dengan jelas tanpa nyakitin, dengerin tanpa ngegas, dan ngerti tanpa harus setuju. Kadang, masalah besar itu bukan karena perbedaan, tapi karena miskomunikasi.

    Dalam Islam, komunikasi itu juga dijaga banget. Bahkan diajarkan gimana caranya berbicara yang baik.
    Allah berfirman dalam QS. An-Nisa: 63:

    “…katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.”

    Artinya, ngomong itu bukan cuma soal isi, tapi juga cara nyampeinnya. Harus bikin orang merasa dihargai, bukan diserang.

    Rasulullah SAW juga dikenal sebagai komunikator ulung. Bahkan saat berbeda pendapat, beliau tetap lembut, gak ngegas, dan selalu menyesuaikan cara bicara sesuai lawan bicaranya. Itu contoh komunikasi yang gak cuma efektif, tapi juga penuh empati.

    Dari sisi sains, studi dari Journal of Business and Psychology bilang:

    “Effective communication is the foundation of trust, collaboration, and conflict resolution.”
    Gak heran kalau komunikasi yang baik bisa bikin hubungan apapun jadi lebih sehat dan tahan lama.

    Jadi menurut gua, belajar komunikasi itu gak pernah sia-sia. Karena selama kita masih hidup dan ketemu orang lain—kita pasti akan butuh komunikasi. Mau itu ngobrol, debat, curhat, atau sekadar bilang “aku capek”—semua butuh cara. Dan cara itu, bisa dilatih, bisa diperbaiki, dan makin lama makin kuat.

  • 5. Minta Maaf & Terima Kasih

    Pernah nggak sih kita denger kalimat-kalimat simpel kayak “Tolong”, “Minta Maaf”, dan “Terima Kasih”?
    Kalau dipikir-pikir, ini tuh kalimat magic. Kecil banget bentuknya, tapi dampaknya bisa gede banget. Kadang orang nganggep remeh, tapi sebenernya ini tiga kata yang bisa bikin hubungan antar manusia jadi lebih sehat dan manusiawi.

    Gua pribadi ngerasa makin dewasa, makin paham pentingnya dua dari tiga kata itu: minta maaf dan terima kasih.
    “Minta maaf” bukan cuma soal ngaku salah, tapi juga soal rendah hati dan sadar kalau kita gak selalu benar.
    “Terima kasih” juga bukan sekadar basa-basi, tapi bentuk penghargaan atas apa pun yang orang lain lakuin buat kita—sekecil apa pun.

    Kadang kita gengsi buat ngomong dua kalimat ini. Tapi justru karena itu, pas kita mulai biasain ngomongnya, efeknya luar biasa. Bikin orang lain ngerasa dihargai, dan bikin kita juga lebih ringan dalam hati.

    Dalam Islam sendiri, kita diajarin buat jadi pribadi yang pemaaf dan tahu berterima kasih. Allah berfirman dalam QS. Al-A’raf: 199:

    “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”

    Dan soal berterima kasih, Rasulullah SAW bersabda:

    “Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”
    (HR. Abu Daud)

    Dari sini gua belajar, kalau kita bisa berterima kasih ke orang, itu juga bagian dari bentuk syukur kita ke Allah.
    Dari sisi psikologi pun, studi dari University of California nunjukkin bahwa orang yang sering mengungkapkan rasa terima kasih punya tingkat stres yang lebih rendah dan hubungan sosial yang lebih sehat.

    Jadi menurut gua, dua kalimat ini—“minta maaf” dan “terima kasih”—bukan cuma etika, tapi kebiasaan hati yang harus terus dilatih. Karena makin kita biasain, makin lembut juga sikap kita ke orang lain, dan makin adem juga hidup kita sendiri.

  • 4. Point of View (Sudut Pandang)

    Semakin bertambah umur, gua makin sering ketemu orang dari berbagai latar belakang—beda keluarga, beda pendidikan, beda pengalaman hidup, bahkan beda cara memahami agama. Dan makin ke sini, gua sadar satu hal penting:
    Gua gak bisa maksa cara pandang gua ke orang lain. Begitu juga sebaliknya.

    Dulu gua mikir, kalau gua ngerasa ini benar, ya semua orang harus setuju. Tapi ternyata nggak sesimpel itu. Kadang yang menurut gua “benar”, buat orang lain bisa jadi nggak relevan. Bukan karena dia salah, tapi karena konteks hidupnya beda. Cara dia dibesarkan, masalah yang pernah dia hadapi, lingkungan yang ngebentuk dia—semuanya bikin dia punya cara pandang yang unik.

    Dan itu bukan hal yang salah. Justru di situlah gua belajar arti toleransi yang sesungguhnya. Bukan cuma soal beda keyakinan atau pendapat, tapi juga soal belajar mendengarkan dan memahami sebelum menilai.

    Gua jadi inget konsep ‘tafaqquh’ dalam Islam, yang artinya mendalami ilmu dengan pemahaman. Di dalamnya ada proses berpikir kritis dan terbuka terhadap perbedaan. Bahkan di kalangan para ulama pun, ada banyak perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang nggak bikin mereka saling menjatuhkan—karena masing-masing punya dalil dan pertimbangan.

    Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat: 13:

    “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…”
    Ayat ini jadi pengingat kalau perbedaan itu emang disengaja. Bukan buat bikin kita pecah, tapi buat saling belajar dan saling menghargai.

    Dari sisi psikologi, ada juga yang namanya cognitive empathy — kemampuan buat melihat dari sudut pandang orang lain. Studi dari Journal of Personality and Social Psychology bilang:

    “People who can understand others’ perspectives are better at resolving conflict and building trust.”

    Jadi, belajar menghargai sudut pandang itu bukan berarti kita harus selalu setuju sama orang lain. Tapi kita bisa ngerti kenapa mereka berpikir seperti itu. Dan itu bikin kita jadi lebih bijak, lebih tenang, dan gak gampang nge-judge.

  • 3. Integritas

    Lanjutan dari disiplin, gua juga pengen bahas soal integritas. Di salah satu video post Instagram, gua pernah nemu arti integritas yang gampang banget dimengerti:

    “Integrity is doing the right thing, even when no one is watching.”

    Simpelnya: mau ada yang lihat atau enggak, mau orang tahu atau enggak, kita tetap ngelakuin yang benar dan baik.

    Contoh paling relate: pas SD, tiba-tiba ada pengumuman kalau guru nggak masuk, terus kita seneng banget kan? Padahal ya, guru masuk atau enggak, seharusnya kita tetap belajar. Karena niatnya bukan buat nyenengin guru, tapi karena tahu itu kewajiban kita sebagai murid.

    Di dunia kerja juga sama. Mau atasan ada atau enggak, bahkan kalau owner sekalipun gak kelihatan, kalau udah jam kerja ya kita tetap kerja. Karena kerja itu bukan cuma soal disuruh atau diawasi, tapi tanggung jawab yang kita pegang.

    Dalam Islam, ada konsep yang namanya Muroqobah — merasa selalu diawasi oleh Allah. Gua pribadi berusaha tanamin itu: dimanapun gua, apapun yang gua lakuin, Allah tahu. Itu ngebantu banget buat jaga diri. Karena ketika lo sadar Allah selalu tahu, lo jadi lebih hati-hati dalam niat dan tindakan.

    Allah berfirman dalam QS. Al-Hadid: 4:

    “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
    Ayat ini ngasih reminder kuat: kita nggak pernah sendiri. Allah selalu tahu.

    Secara sains juga ada pembahasannya. Dalam studi psikologi, dikenal konsep internal moral compass. Riset dari Harvard Business Review bilang:

    “People with high integrity perform better long-term because they don’t rely on external validation or fear-based motivation.”

    Artinya, orang yang punya integritas tinggi biasanya lebih stabil dan sukses dalam jangka panjang, karena mereka ngelakuin yang benar tanpa harus disuruh atau dipantau.

    Buat gua, integritas itu pondasi penting buat hidup. Nggak cuma buat urusan kerjaan atau agama, tapi buat segala hal. Lo bisa pinter, bisa disiplin, tapi kalau gak ada integritas—gampang banget kepleset.

  • 2. Disiplin

    Sejak kecil kita udah diajarin disiplin. Meskipun waktu itu gua belum ngerti arti sebenarnya, tapi yang gua tangkep: kalau masuk sekolah jam 7, ya harus udah di gerbang sebelum jam 7. Telat berarti melanggar. Sesimpel itu.

    Semakin hari, gua ngerasa pelajaran tentang disiplin ini makin kerasa manfaatnya. Karena ternyata, disiplin itu bukan cuma tentang datang tepat waktu—tapi tentang komitmen kita ke diri sendiri. Kalau dari kecil udah biasa disiplin, kebiasaan itu bakal kebawa terus. Dari SD, SMP, SMK, kuliah, sampai kerja—semua butuh disiplin.

    Gua juga sadar, disiplin itu bikin hidup jadi lebih teratur. Bukan berarti hidup jadi kaku, tapi lebih ke tahu kapan harus serius, kapan bisa santai. Disiplin juga yang ngebantu kita tetap jalan, bahkan pas lagi gak mood atau gak ada yang ngawasin.

    Dalam Islam juga ditekankan pentingnya kedisiplinan, apalagi soal waktu. Allah berfirman dalam QS. Al-Mu’minun: 9,

    “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.”

    Maksudnya bukan cuma shalat, tapi konsistensi dan ketepatan waktunya. Itu bentuk disiplin paling dasar dalam ibadah.

    Ada juga QS. Al-Asr, yang sering kita denger:

    “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian…”

    Ayat ini ngingetin kita soal waktu, dan gimana pentingnya memanfaatkannya dengan baik. Disiplin waktu = menghargai hidup.

    Dari sisi sains dan psikologi, menurut penelitian dari Psychological Science (2013),

    “Self-discipline predicts success more reliably than IQ.”

    Artinya, disiplin bahkan bisa lebih penting dari kepintaran dalam nentuin kesuksesan seseorang.

    Jadi buat gua, disiplin itu bukan sekadar kebiasaan dari kecil. Tapi fondasi yang bikin kita bisa bertahan, berkembang, dan ngeraih tujuan hidup—baik di dunia, maupun akhirat.

  • 1. Belajar Islam = Pondasi

    Gua percaya Agama Islam udah ngatur semua hal dalam hidup, dari yang kecil sampai yang besar. Dari kecil sampai umur 30 ini, gua selalu berusaha buat terus belajar, nyari tahu hal-hal yang gua belum paham, dan nyari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul waktu gua ngamalinnya.

    Gua pernah denger Ustadz Felix Siaw bilang, kita dari kecil tuh seringnya diajarin soal “apa” dan “bagaimana” aja dalam agama, tapi jarang banget diajarin “kenapa”. Dan gua pikir, ya bener juga sih. Contohnya soal shalat—kita diajarin gerakan dan bacaannya, tapi jarang banget diajak mikir: kenapa sih kita harus shalat?

    Dewasa ini, pas gua ngobrol sama temen-temen atau ketemu orang lain, gua pernah ketemu  yang bilang mereka belum bisa ngerjain shalat karena mereka belum nemu alasan kenapa itu penting, kenapa dia harus shalat. Bukan karena males, tapi karena mereka lagi nyari makna.

    Dan dari situ gua makin yakin, belajar agama itu nggak cukup cuma tau caranya. Harus ada rasa penasaran juga. Rasa pengen ngerti, pengen ngerasain. Karena agama itu bukan cuma ritual, tapi juga hubungan antara kita sama Allah.

    Ini juga sejalan dengan firman Allah dalam QS. Taha: 114, yang mengatakan,

    “Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.’”

    Belajar agama itu perjalanan seumur hidup. Bukan buat jadi orang paling ngerti, tapi biar kita makin dekat sama yang nyiptain kita. Ini juga yang diingatkan dalam QS. Ali Imran: 190 :

    “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”

    Jadi, saat kita bertanya kenapa shalat atau ngelakuin ibadah lainnya, itu bagian dari proses berfikir dan merenung, yang justru semakin mendekatkan kita pada pemahaman lebih dalam tentang agama dan hidup itu sendiri.

    Menurut penelitian juga, orang lebih bisa bertahan melakukan kebiasaan ketika mereka paham tujuan dan maknanya. “People are more likely to sustain habits or practices when they understand the deeper meaning or purpose behind them.” (Psychological Science, 2015). Jadi, memahami alasan di balik ibadah itu bukan cuma bikin kita lebih rajin, tapi juga lebih sadar akan maknanya.